Selasa, 07 Mei 2013

KH Hasyim Asyari dan resolusi jihad melawan Belanda





 
Tulisan ini hanya sepenggal kisah tentang Hasyim Asyari, pahlawan nasional dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Kiai karismatik berjuluk Hadratus Syaikh yang berarti Maha Guru, ini dikenal sebagai ahli ilmu agama, khususnya tafsir, hadits dan fiqih.

Dia mengabdi kepada umat dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Hasyim juga berdakwah ke daerah-daerah pada masanya.

Sedangkan gelar pahlawan dia dapat karena pada masa penjajahan belanda, Hasyim Asyari ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945. Akibat fatwa itu, meledak lah perang di Surabaya pada 10 November 1945.

Menurut Ishom Hadzik (2000) dalam buku yang ditulis Zuhairi Misrawi berjudul "Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan", pada masa penjajahan Belanda, Hasyim senantiasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh muslim dari berbagai penjuru dunia untuk melawan penjajahan.

Misalnya dengan Pangeran Abdul Karim al-Khatthabi (Maroko), Sultan Pasha Al-Athrasi (Suriah), Muhammad Amin al-Husaini (Palestina), Dhiyauddin al-Syairazi, Muhammad Ali, dan Syaukat Ali (India), serta Muhammad Ali Jinnah (Pakistan).

Hasilnya pada 22 Oktober 1945, Hasyim dan sejumlah ulama di kantor NU Jatim mengeluarkan resolusi jihad itu. Karena itulah Hasyim diancam hendak ditangkap Belanda. Namun Hasyim tak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Hizbullah dan Sabilillah melawan penjajah.

Bahkan ketika Bung Tomo meminta Kiai Hasyim mengungsi dari Jombang, Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan. Hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional; hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).

Fatwa atau resolusi jihad Hasyim berisi lima butir. Seperti ditulis Lathiful Khuluq berjudul "Fajar Kebangunan Ulama, Biografi Kiyai Hasyim Asyari" yang diterbitkan LKiS pada 2000 lalu, butir Pertama resolusi jihad berbunyi; kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan.

Butir ke dua; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong. Ke tiga; musuh republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu Inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.

Ke empat; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. Ke lima; kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilo meter, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang berjuang.

Semangat dakwah antikolonialisme sudah melekat pada diri Hasyim sejak belajar di Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki. Menurut Muhammad Asad Syihab (1994), Hasyim pernah mengumpulkan kawan-kawannya, lalu berdoa di depan Multazam, berjanji menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk penjajahan.

Semangat itu dia bawa tatkala kembali ke Indonesia dan dia tularkan kepada anaknya, Wahid Hasyim. Kelak, Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Menteri Agama pertama pada era Presiden Soekarno.

Sikap anti penjajahan juga sempat membawa Hasyim masuk bui ketika masa penjajahan Jepang. Waktu itu, kedatangan Jepang disertai kebudayaan 'Saikerei' yaitu menghormati Kaisar Jepang "Tenno Heika" dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB.

Budaya itu wajib dilakukan penduduk tanpa kecuali, baik anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. Bisa ditebak, Hasyim Asyari menentang karena dia menganggapnya 'haram' dan dosa besar.

Membungkukkan badan semacam itu menyerupai 'ruku' dalam sholat, hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT. Menurut Hasyim, selain kepada Allah hukumnya haram, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit.

Akibat penolakannya itu, pada akhir April 1942, Hasyim Asyari yang sudah berumur 70 tahun dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, lalu ke penjara Bubutan, Surabaya. Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa hingga jari-jari kedua tangannya remuk tak lagi bisa digerakkan.

Hasyim Asyari lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 dengan nama lengkap Mohammad Hasyim Asyari. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng dan organisasi NU. Kakek almarhum Gus Dur ini meninggal di Jombang, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun.

KH Agus Salim, kesederhanaan penguasa banyak bahasa





KH Agus Salim, kesederhanaan penguasa banyak bahasa


h agus salim. wikipedia
254
 


Haji Agus Salim adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang tidak berjuang menggunakan bambu runcing atau senjata api. Senjata seorang Agus Salim ialah intelektualitas dan kepandaiannya dalam berdiplomasi.

Pendidikan Agus Salim dimulai dari Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, dia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Di usia yang sangat muda ini, Agus Salim sudah berhasil menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing yakni Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman.

Kecerdasan dan kepiawaian Agus Salim dalam berdiplomat ternyata menarik minat negara dan penjajah saat itu yakni Belanda. Belanda menawarkan kepadanya untuk menjadi penerjemah pada Konsulat Belanda di Jeddah pada tahun 1906 sampai 1911.

Pada saat di Mekkah itulah Salim mendalami ilmu agama dengan pamannya Syeikh Khatib al-Minangkabawi yang saat itu menjadi Imam di Masjidil Haram. Di samping ilmu-ilmu agama, Syeikh Khatib juga mengajarkan Salim ilmu diplomasi dalam hubungan internasional yang di kemudian hari nanti menjadi andalannya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pasca-lima tahun dalam perantauan, Agus Salim kembali ke Tanah Air. Pada 1915, Salim meniti karir dengan malang melintang di dunia jurnalistik. Kepribadian Agus Salim yang tegas membuat setiap tulisannya selalu tajam dan mengandung kritikan pedas dalam membakar semangat kemerdekaan rakyat Indonesia.

Dunia jurnalistik ternyata bukan pelabuhan akhir karir Agus Salim di mana dia juga memutuskan untuk terjun ke dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam. Ternyata pilihan putra dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab ini tidak salah. Terbukti pada 1946 sampai 1950 dia menjadi bintang dalam percaturan politik Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Agus Salim diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Selain itu Salim juga dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta.

Kefasihannya dalam berdiplomasi membuat dia dipercaya untuk menjalankan berbagai misi diplomatik dengan tujuan memperkenalkan negara baru Republik Indonesia ke dunia luar, serta bagian dari diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan. Salah satu buah dari upaya diplomasi Agus Salim adalah, pada 1947, Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dan perjanjian persahabatan dengan Mesir. Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Agus Salim yang dianugrahi kejeniusan dan hidup sebagai orang besar tidak lantas membuatnya tinggi hati. Kesederhanan Agus Salim ini terlihat pada saat dirinya menghadiri salah satu konferensi besar di mana saat itu dia makan dengan menggunakan tangannya sementara para peserta muktamar menggunakan sendok.

Ketika sebagian anggota muktamar mencemooh dengan mengatakan "Salim, sekarang tidak saatnya lagi makan dengan tangan, tapi dengan sendok," kemudian dia hanya menjawab "tangan yang selalu saya gunakan ini selalu saya cuci setiap kali akan makan, dan hanya saya yang memakai dan menjilatnya. Sementara sendok-sendok yang kalian gunakan sudah berapa mulut yang telah menjilatnya". Sontak hadirin pada saat itu malu dan langsung terdiam.

Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961

KH Ahmad Dahlan berdakwah dengan rasionalitas

KH Ahmad Dahlan berdakwah dengan rasionalitas

"Buat apa kita mengaji, banyak-banyak surah, tapi hanya untuk dihafal," ujar Ahmad Dahlan pada santrinya dalam cuplikan film Sang Pencerah.

Muhamad Darwis atau yang dikenal dengan KH Ahmad Dahlan, seorang santri yang pada usia 15 tahun sudah berangkat ke Makkah. Cara pembelajarannya bukanlah dengan khutbah massal. Dia belajar santri di langgar, metode diskusi bukan sekadar menghapal surah dengan santri yang awalnya hanya segelintir orang.

Dahlan pun dicibir karena meluruskan arah kiblat yang dianggap salah. Bahkan, untuk meluruskan arah kiblat tersebut, Dahlan memberikan argumen dengan menggunakan kompas dan peta di hadapan para kiai.

Dalam laman Muhammadiyah.or.id, disebutkan untuk membangun upaya dakwah, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk bersama-sama melaksanakan upaya dakwah yang sistematis dan kolektif.

Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta. Karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.

Dengan mendidik para calon pamongpraja diharapkan segera memperluas gagasan pembaharuannya. Karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat.

Dia juga mendidik para calon guru untuk mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwahnya, karena mereka mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah).

Gagasan pembaharuan disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota. Di dalam kota Yogyakarta, Ahmad Dahlan menganjurkan pada jemaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.

Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad, dikabarkan terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada.

Menanggapi hal tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan argumentasi. "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Quran dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Quran dan Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir," katanya kala itu.

Buya Hamka, seorang pendakwah otodidak yang legendaris







Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang lebih terkenal dengan nama Buya Hamka adalah salah satu sosok pendakwah yang berperan besar dalam perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Sumatera Barat. Hamka yang lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat meneruskan perjuangan ayahnya yang bernama Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau.

Berguru pada ayahnya sendiri semenjak umur 10 tahun, Hamka mempelajari ajaran-ajaran ulama terkenal seperti Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, RM Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo. Setelah itu, Hamka terkenal sebagai ulama yang otodidak dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, baik dari agama Islam sendiri maupun dalam mempelajari ilmu dari Barat.

Pada tahun 1928, Hamka mulai menularkan pemikiran-pemikirannya dalam sebuah tulisan. Hamka juga pernah menjadi seorang jurnalis yang membuat tulisan di berbagai surat kabar terkenal pada zaman itu seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Selanjutnya dia menjadi editor di beberapa media seperti Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Hamka yang mahir dalam Bahasa Arab juga mampu meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah. Misalnya, Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Husain Haikal. Melalui Bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman. Misalnya, Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Di samping itu pria yang aktif di organisasi Islam Muhammadiyah ini juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta. Misalnya, HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Karena pengetahuan tentang Islam yang begitu mendalam, di tahun 1957, Hamka dilantik menjadi dosen Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Setelah itu, Hamka dipercaya menjadi Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan mendapat gelar Profesor di Universitas Mustopo, Jakarta. Bahkan, Presiden Republik Indonesia yang pertama Soekarno meminta dirinya untuk memilih menjadi pegawai negeri atau aktif dalam partai politik berbasis Islam pada saat itu yaitu Masyumi.

Aktif dalam parpol tidak membuat Hamka miskin karya. Buktinya Hamka membuat karya ilmiah Islam dan beberapa karya lainnya, seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar yang dibuat dalam lima jilid. Karyanya yang terkenal sampai ke negeri Malaysia dan Singapura adalah tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.

Puncaknya, Hamka menerima beberapa penghargaan pada peringkat nasional dan internasional, seperti kehormatan Doctor Honoris Causa Universitas Al-Azhar pada 1958, Doktor Honoris Causa Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974, dan gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Namun ajaran, karya, dan sosoknya tidak akan pernah wafat. Hakma memberikan pemikiran-pemikiran hebat dalam perkembangan Islam di Indonesia.

 dari sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/buya-hamka-seorang-pendakwah-otodidak-yang-legendaris.html